Kereta Kencana Keraton Yogyakarta
Kereta itu memiliki roda-roda besar bulat sempurna. Seantero badannya dihiasi dengan ukiran sedemikian rupa. Barisan kuda gagah nan indah diikat pada sang kereta seakan mereka tidak setia. Tangga-tangga kecil akan muncul bersamaan dengan pintu yang dibuka, melayani dia yang namanya berkuasa.
Beralamat di Jalan Rotowijayan, sebelah barat Keraton Yogyakarta, Museum Kereta Keraton Yogyakarta berdiri dengan mantap dan sederhana. Museum ini dibuka mulai dari pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore. Dari balik meja, tiga orang bapak-bapak paruh baya siap menyambut para pengunjung. Tulisan “tiket masuk: Rp5.000,00 , Izin foto: Rp1.000,00” tercetak tebal pada selembar kertas, menyuratkan nilai nominal yang harus dibayar.
Di dalam museum, di atas bangku, seorang bapak dengan kopiah seadanya, duduk sembari mengawasi para pengunjung yang datang. Warga mengenalnya sebagai Suhardi, seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang diamanahi untuk bertanggung jawab atas museum tersebut. Suhardi begitu ramah walaupun memiliki keterbatasan fisik sehingga perlu dibantu dengan kursi roda. “Dua tahun lalu saya kecelakaan bus,” tuturnya tabah.
Perlahan, percakapan ringan pun mulai tergantikan dengan dongeng koleksi kereta pusaka Keraton Yogyakarta. Sejak zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga X, keraton memiliki 23 kereta dengan nama yang berbeda-beda. “Karena sudah tua kereta yang berfungsi hanya delapan belas,” jelas Suhardi.
Kereta tertua dan pertama adalah Kereta Kanjeng Nyai Jimat, produksi Belanda pada tahun 1750 (berumur 265 tahun). Kereta ini merupakan pemberian Spanyol untuk permaisuri keraton, oleh sebab itu kereta ini dinamakan Kanjeng Nyai (gelar keraton untuk permaisuri). “Jimat itu artinya benda yang disakralkan,” tambah Suhardi, “kereta ini disakralkan.”
Ada pula kereta-kereta yang khusus digunakan untuk pelantikan yaitu Kyai Wimono Putro (tahun 1860) dan Garuda Yeksa (tahun 1861). “Kyai Wimono Putro itu untuk pengangkatan putra mahkota. Kalau Garuda Yeksa khusus untuk melantik sultan. Sultan HB X juga dilantik pakai itu,” tutur Suhardi. Kedua kereta ini dibeli dari Belanda.
Cerita Suhardi pun berlanjut ke pernikahan Gusti Kanjeng Ratu Hayu dengan Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro pada 23 Oktober 2013 silam. Sebanyak dua belas kereta keraton dikerahkan bersamaan dengan 69 kuda. Kereta Kyai Jongwiyat (tahun 1880) dipakai untuk mengarak kedua mempelai diiringi oleh Kereta Wimono Putro yang dinaiki Sultan Hamengkubuwono X. Sementara itu, Kereta Kyai Jetayu (1931) digunakan untuk mengangkut keluarga mempelai putri dan Kereta Roto Biru (1901) untuk keluarga besan. Kereta lainnya pun dikerahkan untuk membawa para penari.
Kereta yang juga memiliki kegunaan khusus sekaligus sebagai kereta termuda adalah kereta Roto Praloyo (tahun 1938). Kereta ini digunakan untuk mengangkut jenazah sehingga badannya panjang. “Ini satu-satunya kereta yang dibikin di keraton sini waktu zamannya Sultan HB VIII”, ujar Suhardi bangga. Tugas terakhir Roto Praloyo adalah membawa jenazah Sultan Hamengkubuwono XI dari keraton hingga makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Mondro Juwolo, Nyai Manik Retno, Nyai Jolodoro, Kyai Harsunaba, Manirno, Gus Gading, Kyai Rejo Pawoko, Ngabean Landauer, Landauer Wisman, Premili, Kyai Kutha Kaharjo, Kapulitin, Kyai Puspoko Manik, Landauer Surabaya, Kyai Roto Puro adalah nama kereta-kereta lain yang dijelaskan oleh Suhardi. Landauer adalah jenis kereta dengan kap diatasnya. Semua kereta ini ditarik oleh kuda-kuda besar yang biasanya didatangkan dari Bandung.
Dengan sabar dan teliti, Suhardi melanjutkan ceritanya mengenai kusir dari setiap kereta kencana yang berbeda-beda. Hanya satu hal yang menyamakan mereka: seorang abdi dalem. Sebelum melakukan suatu upacara adat, memang para abdi dalem harus berpuasa terlebih dahulu dengan ketentuan waktu sesuai kehendak masing-masing.
Saat ini, keraton memang tidak memiliki niatan untuk menambah koleksi kereta mengingat jumlahnya sudah mencukupi. Akan tetapi, bukan berarti usaha keraton untuk melestarikan benda pusaka ini terhenti. “Karena ini warisan budaya dan bersejarah jadi ya kami rawat sebaik mungkin”, kata Suhardi seraya tersenyum dan berpamitan. (Sofi Nabila dan Dhany Putri E.)
Dimuat dalam Majalah BPPM Equilibrium edisi 17 tahun 2015: “Hulu Hilir Pariwisata Pesisir”