News for June 2015

Esensi Pers Mahasiswa

Mahasiswa memiliki satu peran besar dalam sebuah instansi bernamakan kampus. Selain kewajibannya untuk terus menimba ilmu sebagai bekal membangun bangsa, berorganisasi pun kini menjadi  pilihan penyeimbang bagi sebagian besar mahasiswa. Salah satu organisasi yang cukup banyak menarik perhatian serta berkembang adalah  pers mahasiswa.

Menurut Vikra Alizanovic, Pemimpin Umum Badan Pers Bulaksumur UGM, Pers Mahasiswa, sering disingkat persma adalah sebuah organisasi yang menaungi mahasiswa untuk menuangkan ide-ide terbaru yang faktual dan mengandung urgensi. Kritik membangun sebagai tanggapan atas masalah yang terjadi kerap menjadi hasil diskusi dalam organisasi ini. Persma sendiri memiliki tugas dan peran yaitu sebagai agen pembawa perubahan. Hal ini senada dengan penuturan salah satu dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Revrisond Baswir. “Peran persma itu bukan cuma membesar-besarkan masalah, tapi harus bisa memanifestasikan suatu masalah,” tuturnya.

Revrisond beranggapan bahwa saat ini, peran persma tidak lagi memenuhi peran yang seharusnya. Berbalik melihat ke zaman awal kemunculan persma, saat zaman rezim pemerintah Soeharto, perannya saat itu adalah menjadi organisasi garda depan sebagai pihak “lawan” bagi rezim pemerintahan kala itu. “Memang tidak mungkin membandingkan posisi persma yang dulu dengan yang sekarang, namun ada baiknya persma sekarang juga memiliki posisi.” Revrisondmenambahkan, “Posisi ini yang nanti menetukan bagaimana warna persma itu sendiri.”

Berbicara tentang persma memaksa kita mengingat kembali bagaimana persma pada zaman rezim pemerintahan Soeharto. Sejarah awal terbentuknya persma dipicu dengan adanya “musuh bersama” bagi mahasiswa pada saat itu, yaitu tirani pemerintahan Soeharto. Banyaknya pembredelan media dan juga majalah yang diberangus menjadi salah satu memori yang melekat di ingatan. “Dengar cerita dari para alumni dulu ada anggota Bulaksumur yang sempat ditembaki oleh tentara,” ujar Vikra Alizanovic.

Adanya musuh bersama membuat persma zaman pemerintahan Soeharto memiliki keterikatan pemberitaan dengan tema-tema besar. Dengan kata lain, mereka memiliki “posisi”. “Dulu persma jadi garda depan saat pers umum gak berani,” ujar Revrisond. Sebagai mantan anggota persma, ia menuturkan bahwa dulu persma adalah organisasi yang progresif, termasuk juga persma UGM. Akibatnya, persma UGM sempat diberangus oleh rektor saat itu.

Profesionalisme, kata Revrisond, menjadi pembeda antara persma zaman pemerintahan Soeharto dengan yang sekarang. Perbedaan yang mencolok ditunjukkan dengan jenis tulisan yang dibuat. Persma zaman pemerintah Soeharto lebih menekankan pada pemberitaan yang bersifat berseberang dengan rezim pemerintah. Namun, persma sekarang lebih ke arah penulisan jurnal dan juga pemberitaan dengan topik yang berpindah-pindah.

Tidak adanya musuh bersama saat ini bukan berarti membuat peran persma menjadi tidak penting. Persma akhir-akhir ini lebih berperan sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin berproses dalam gerakan pers. “Persma juga dinilai sebagai “mercusuar” pemberitaan yang memberikan informasi faktual,” ujar Vikra. Tuntutan bagi anggota persma untuk tetap berpikir kritis pun menjadi salah satu bentuk manfaat persma dalam mengembangkan anak bangsa.

Vikra mengatakan bahwa sifat kritis sangat penting. Kritis dalam melihat kejadian atau informasi penting dapat menjadikan persma sebagai suatu organisasi yang bermanfaat dan berpengaruh. Persma juga dituntut untuk memiliki kejelasan nilai dan tema dalam membawakan berita.

Sebagai sebuah organisasi, persma memiliki esensi sebagai sebuah wadah pers bagi mahasiswa. Walau persma sekarang belum seratus persen dalam memenuhi esensinya, namun Vikra berpendapat bahwa esensi suatu persma itu tergantung dari takarannya. “Apakah takarannya itu suatu prestasi atau yang lain.”  jelas Vikra. Esensi persma masa kini diharapkan dapat memperkaya sudut pandang mahasiswa serta memiliki konsistensi dalam membuat berita.

Lain halnya menurut Revrisond, ia berpendapat bahwa esensi persma yang sekarang mulai menurun. Persma yang sekarang tidak memiliki “posisi”. Mereka hanya mengangkat topik-topik kecil, yang lalu kehilangan warna dari esensi tersebut.

Walau demikian, pelaksanaan peran persma saat kini sudah dinilai baik. Sepak terjang persma sebagai wadah mahasiswa yang menyampaikan aspirasi dinilai cukup bagus. Persma selalu memiliki sudut pandang yang berbeda dari lembaga kemahasiwaan lainnya. “Persma bisa melihat masalah-masalah di kampus yang tidak tampak oleh mahasiswa-mahasiswa pada umumnya,” tutur M. Ibnu Thorikul Aziz, mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UGM. Ia juga menambahkan setelah melihat dari sudut pandang persma, lembaga kemahasiswaan lain seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB menyadari adanya masalah yang harus diselesaikan.

Penjelasan Ibnu secara tidak langsung menyatakan bahwa persma cukup didengar oleh mahasiswa dan lembaga kemahasiswaan lain. Persma mencoba menjadi penyulut “api”. Mereka mempertimbangkan masalah apa yang bisa menarik perhatian serta memicu sudut pandang setiap mahasiswa. Bukti lain bahwa persma dirasakan eksistensinya adalah mahasiswa masih mengundang persma untuk meliput acara kampus maupun fakultas.

Sebagai sebuah organisasi, persma menjadi wadah bagi anggotanya untuk berbagi kritik serta sudut pandang. Keterampilan dalam menulis artikel, wawancara serta teknik pembuatan layout dan fotografi pun diasah seiring memroduksi media cetak maupun digital. Semua proses tersebut secara otomatis meningkatkan kemampuan anggota mulai dari kreativitas, pola pikir, kemampuan berbicara, hingga kemampuan dalam bersikap. Lembaga lain selain persma, seperti lembaga eksekutif mahasiswa, juga merasakan manfaatnya yaitu dari bagaimana persma memandang suatu masalah.

Pers mahasiswa saat ini memang memiliki lingkungan lapangan yang berbeda jika dibandingkan dengan persma pada zaman terdahulu. Esensi dari kehadiran persma pun tidak lagi dapat dibandingkan. Meskipun demikian, sebuah organisasi pers mahasiswa tetap memiliki esensi penting ,yaitu pengungkapan informasi yang faktual, mendidik, serta beretika.

Berbagai asa tertuju bagi pers mahasiswa baik dari segi proses maupun output yang mereka hasilkan. Indenpendensi sebagai sifat besar bagi persma diharapkan dapat mendukung terungkapnya informasi faktual dan netral. Membuat opini publik  yang bersifat independen serta tanpa adanya afiliasi dari berbagai pihak adalah poin penting bagi persma. (Sofi Nabila, Andi Purnama S., Iman Handi)

Posted: June 21st, 2015
Categories: Uncategorized
Tags:
Comments: No Comments.

Gurih Manisnya Senja Pesisir Depok

                 Semburat jingga emas kembali mewarnai cakrawala senja bumi pertiwi. Para manusia pesisir hilir mudik disana-sini bersiap untuk menghadapi angin malam hari. Mobil yang membawa Tim Equilibrium baru saja melewati gerbang retribusi Pantai Depok, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ketika matahari mulai menyentuh batas cakrawala di sayap barat bumi. Perjalanan menuju pantai diwarnai dengan pemandangan rumah-rumah penduduk yang berderet dan hamparan kebun tanaman cabai.. Ya, tanaman cabai merupakan  satu dari sekian produk tanah penduduk Pantai Depok ketika hamparan laut pun belum  mampu membuat kemauan perut keluarga nelayan tercukupi.

Tak lama kemudian, mobil pun berbelok ke kanan jalan  memasuki  lapangan luas tempat Pasar Ikan Segar Pantai Depok Parangtritis berlokasi. Begitu Tim Equilibirum keluar mobil, dalam sekejap tanpa tedheng aling-aling seorang ibu dating menawarkan jasa masak di warung makannya. “Kalau dimasak sama saya nanti saya beri sayur kangkung gratis,” ujar Sumirah, salah satu pemilik warung makan di Pantai Depok. Menurut seorang nelayan bernama Karyo, keberadaan jasa masak aneka seafood secara langsung di lokasi memang sudah menjadi pemandangan yang umum dijumpai untuk menarik wisatawan pecinta kuliner. Daging ikan yang menjadi bahan utama bisnis tersebut bisa dengan mudah didapat di tempat pelelangan ikan, Pasar Ikan Segar Pantai Depok Parangtritis. “Beli ikannya di pasar situ mbak. Murah dan masih fresh,” imbuh Sumirah.

Pasar Ikan Segar Pantai Depok Parangtritis merupakan bangunan baru yang didirikan oleh pemerintah Bantul pada 2011dalam rangka mengumpulkan dan merapikan para penjaja ikan segar. Sederetan kios kecil yang menjual aneka camilan dan oleh-oleh bertebaran di sekitarnya. Satu diantaranya adalah Pojok Pasar. “Ya soalnya letaknya di pojok pasar, Mbak,” celetuk Siti, si empu kios ketika Tim Equilibrium menanyakan asal dari  keunikan nama kios tersebut.

Mulai dari peyek ikan laut, undur-undur (keong laut), peyek jengking, geplak bantul, kepiting Kalimantan, ikan pari, bahkan ikan hiu dapat kita jumpai di kios ini.  Siti serta merta mempersilahkan Tim Equilibrium untuk mencoba peyek ikan laut dan ikan pari yang menurutnya menjadi menu favorit pengunjung Kemripik”, celetuk  Rani, salah satu pembeli camilan tersebut yang dihargai  seharga Rp 15.000.00 tiap seperempat kilogramnya. Berbagai peyek olahan yang sudah dibungkus  juga menjadi andalan Pojok Pasar  dengan harga yang relatif murah. “Itu 10.000 enam. Enam bungkus,” sahut siti.

Macam-macam makanan laut ini, cerita Siti, merupakan hasil olahan Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Pantai Depok setiap pagi pukul 6. Gorengan-gorengan ikan gurih hasil olahan KUB kemudian dijajakan dengan harga berkisar antara Rp40.000,00 hingga Rp100.000,00. Harga tersebut bukan sebuah masalah bagi pengunjung. Terbukti, rata-rata penjualan di Pojok  Pasar mampu mencapai setengah kuintal per hari, terutama di hari Sabtu dan Minggu.

Pamit dengan Siti , Tim Equilibrium menuju Pasar Ikan Segar Pantai Depok Parangtritis yang mulai terang benderang oleh jejeran lampu neon. Kesibukan di dalam pasar tersebut langsung terlihat. Rentetan celotehan pedagang bergaung memenuhi seisi bangunan. Seorang pedagang mengacung-acungkan cumi kepada calon pembeli, sedangkan pedagang di sebelahnya sibuk memotong ikan.

Di dalam pasar, Tim Equilibrium bertemu dengan Eni,  seorang pedagang ikan yang telah berjualan di Pasar Ikan Segar Pantai Depok Parangtritis selama tujuh tahun. Sembari melakukan pekerjaannya, ia menjelaskan berbagai macam makhluk laut  yang bertengger di kiosnya : cakalang, tenggiri,tuna,kakap, kerang merah, kepiting, udang, dan cumi-cumi. Ada juga beberapa jenis ikan yang hanya bisa diperoleh di musim tertentu seperti ikan bawal dan layur putih. Sebagian besar ikan yang dijual tersebut bukanlah hasil asli dari Pantai Depok melainkan kiriman dari Cilacap. ”Yang asli sini tengiri dan cakalang,’’ tutur Eni. Eni juga menuturkan bahwa sistem harga di Pasar Ikan Depok mengikuti aturan yang ditetapkan juragan ikan dari Semarang. “Kalau mahal, sini mahal. Kalau turun, sini turun.”

Menurut Eni, salah satu  ikan favorit yang tak pernah luput dari incaran pembeli adalah ikan cakalang. Dengan harga Rp20.000,00, lima ekor ikan cakalang berukuran sedang sudah di tangan. Daging lembut ikan tersebut  tersebut siap untuk disihir oleh tangan-tangan warga lokal di warung makan sekitar. Ya,  Begitulah bisnis kuliner di Pantai Depok. Di warung makan, Ikan mentah yang dibeli di pasar akan menjadi hidangan khas Depok begitu dicampur dengan bumbu jitu kuliner Jawa.

Tak jauh dari Pasar Ikan, dapur warung makan “Yumna” jadi markas Sumirah dalam melakukan sihirnya yang dihargai Rp10.000,00 per kilogram daging seafood. Deretan tungku berlatar dinding menghitam oleh bakaran kayu dan arang memberi nuansa unik saat Tim Equilibrium dipersilahkan masuk oleh Sumirah. “Cakalang enak Mbak. Durinya cuma di tengah,” ujar si koki, Sumirah, sembari membuang sisik ikan cakalang mentah yang telah Tim Equilibrium beli. Di sampingnya ,untaian bawang merah menggantung bersanding dengan lampu putih di bawah atap yang menadahi warung dari hujan rintik. “Itu digantung biar awet,” terangnya. Betapa unik cara Sumirah menyimpan ramuannya. Ia tahu yang terbaik untuk menciptakan kelezatan kuliner dengan menggunakan bumbu-bumbu andalannya seperti garam, ketumbar, kunyit, bawang putih, jeruk nipis, dan jahe .

 

Dalam kurun waktu dua puluh menit, sebakul nasi hangat, lima ikan cakalang bakar manis, sayur kangkung (sesuai janji Sumirah), serta es kelapa muda terhidang di tas meja. Ikan cakalang dengan balutan kecap manis begitu menggoda untuk diicip pertama kali. Membelah dagingnya yang tebal menimbulkan kepulan asap hangat lain yang menerpa wajah. Lembutnya serat-serat daging membuat bumbu-bumbu racikan Sumirah langsung meresap begitu terasa di lidah.  “Saya suka karena rasa amisnya nggak kerasa mbak,” komentar Tuti, salah seorang pengunjung, “jadi tidak bikin mual.”

Sebagai penutup, Tuti memilih es kelapa muda utuh seharga Rp10.000,00. Tuti menuturkan bahwa masakan di Pantai Depok menjadi enak karena ikannya yang masih fresh. Kemampuan pengolahan ikan dari para penjaja warung makan pun menjadi poin plus bagi Tuti. “Suasananya juga enak mbak. Beda sama di kota. Ndak bising”, katanya. Pendatang dari Semarang, Samuel, pun beranggapan makanan menjadi lebih nikmat karena didukung suasana yang nyaman. “Bisa dibilang kita bukan cuma bayar buat ikannya tapi juga bayar pantainya.” (Sofi Nabila dan Iman Handi)

 

 

Dimuat dalam Majalah BPPM Equilibrium edisi 17 tahun 2015: “Hulu Hilir Pariwisata Pesisir”

 

 

Posted: June 8th, 2015
Categories: Uncategorized
Tags:
Comments: No Comments.

Kereta Kencana Keraton Yogyakarta

Kereta itu memiliki roda-roda besar bulat sempurna. Seantero badannya dihiasi dengan ukiran sedemikian rupa. Barisan kuda gagah nan indah diikat pada sang kereta seakan mereka tidak setia. Tangga-tangga kecil akan muncul bersamaan dengan pintu yang dibuka, melayani dia yang namanya berkuasa.

 

Beralamat di Jalan Rotowijayan, sebelah barat Keraton Yogyakarta, Museum Kereta Keraton Yogyakarta berdiri dengan mantap dan sederhana. Museum ini dibuka mulai dari pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore. Dari balik meja, tiga orang bapak-bapak paruh baya siap menyambut para pengunjung. Tulisan “tiket masuk: Rp5.000,00 , Izin foto: Rp1.000,00” tercetak tebal pada selembar kertas, menyuratkan nilai nominal yang harus dibayar.

Di dalam museum, di atas bangku, seorang bapak dengan kopiah seadanya, duduk sembari mengawasi para pengunjung yang datang. Warga mengenalnya sebagai Suhardi, seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang diamanahi untuk bertanggung jawab atas museum tersebut. Suhardi begitu ramah walaupun memiliki keterbatasan fisik sehingga perlu dibantu dengan kursi roda. “Dua tahun lalu saya kecelakaan bus,” tuturnya tabah.

Perlahan, percakapan ringan pun mulai tergantikan dengan dongeng koleksi kereta pusaka Keraton Yogyakarta. Sejak zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga X, keraton memiliki 23 kereta dengan nama yang berbeda-beda. “Karena sudah tua kereta yang berfungsi hanya delapan belas,” jelas Suhardi.

Kereta tertua dan pertama adalah Kereta Kanjeng Nyai Jimat, produksi Belanda pada tahun 1750 (berumur 265 tahun). Kereta ini merupakan pemberian Spanyol untuk permaisuri keraton, oleh sebab itu kereta ini dinamakan Kanjeng Nyai (gelar keraton untuk permaisuri). “Jimat itu artinya benda yang disakralkan,” tambah Suhardi, “kereta ini disakralkan.”

Ada pula kereta-kereta yang khusus digunakan untuk pelantikan yaitu Kyai Wimono Putro (tahun 1860) dan Garuda Yeksa (tahun 1861). “Kyai Wimono Putro itu untuk pengangkatan putra mahkota. Kalau Garuda Yeksa khusus untuk melantik sultan. Sultan HB X juga dilantik pakai itu,” tutur Suhardi.  Kedua kereta ini dibeli dari Belanda.

Cerita Suhardi pun berlanjut ke pernikahan Gusti Kanjeng Ratu Hayu dengan Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro pada 23 Oktober 2013 silam. Sebanyak dua belas kereta keraton dikerahkan bersamaan dengan 69 kuda. Kereta Kyai Jongwiyat (tahun 1880) dipakai untuk mengarak kedua mempelai diiringi oleh Kereta Wimono Putro yang dinaiki Sultan Hamengkubuwono X. Sementara itu, Kereta Kyai Jetayu (1931) digunakan untuk mengangkut keluarga mempelai putri dan Kereta Roto Biru (1901) untuk keluarga besan. Kereta lainnya pun dikerahkan untuk membawa para penari.

Kereta yang juga memiliki kegunaan khusus sekaligus sebagai kereta termuda adalah kereta Roto Praloyo (tahun 1938). Kereta ini digunakan untuk mengangkut jenazah sehingga badannya panjang. “Ini satu-satunya kereta yang dibikin di keraton sini waktu zamannya Sultan HB VIII”, ujar Suhardi bangga. Tugas terakhir Roto Praloyo adalah membawa jenazah Sultan Hamengkubuwono XI dari keraton hingga makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

Mondro Juwolo, Nyai Manik Retno, Nyai Jolodoro, Kyai Harsunaba, Manirno, Gus Gading, Kyai Rejo Pawoko, Ngabean Landauer, Landauer Wisman, Premili, Kyai Kutha Kaharjo, Kapulitin, Kyai Puspoko Manik, Landauer Surabaya, Kyai Roto Puro adalah nama kereta-kereta lain yang dijelaskan oleh Suhardi. Landauer adalah jenis kereta dengan kap diatasnya. Semua kereta ini ditarik oleh kuda-kuda besar yang biasanya didatangkan dari Bandung.

Dengan sabar dan teliti, Suhardi melanjutkan ceritanya mengenai kusir dari setiap kereta kencana yang berbeda-beda. Hanya satu hal yang menyamakan mereka: seorang abdi dalem. Sebelum melakukan suatu upacara adat, memang para abdi dalem harus berpuasa terlebih dahulu dengan ketentuan waktu sesuai kehendak masing-masing.

Saat ini, keraton memang tidak memiliki niatan untuk menambah koleksi kereta mengingat jumlahnya sudah mencukupi. Akan tetapi, bukan berarti usaha keraton untuk melestarikan benda pusaka ini terhenti. “Karena ini warisan budaya dan bersejarah jadi ya kami rawat sebaik mungkin”, kata  Suhardi seraya tersenyum dan berpamitan. (Sofi Nabila dan Dhany Putri E.)

 

Dimuat dalam Majalah BPPM Equilibrium edisi 17 tahun 2015: “Hulu Hilir Pariwisata Pesisir” 

Posted: June 8th, 2015
Categories: Uncategorized
Tags:
Comments: No Comments.

CV. Karya Hidup Sentosa

Karya Hidup Sentosa merupakan salah satu perusahaan industri yang berdiri di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Perusahaan yang menggeluti produk-produk alat pertanian khususnya traktor tangan ini diinisiasi oleh Bapak dan Ibu Kirjo Hadi Suseno pada tahun 1953. Pada tahun 1987, putra dari Kirjo Hadi Suseno yang bernama Hendro Wijayanto menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO CV. Karya Hidup Sentosa.

Salah satu produk andalan dari CV. Karya Hidup Sentosa adalah traktor tangan bernama “QUICK” yang saat ini telah mampu menguasai sekitar 70% pasar Indonesia dan menembus pasar Internasional. Berkat pemasukannya yang tak main-main, CV. Karya Hidup Sentosa menjadi perusahaan nomer satu dalam kontribusinya untuk membayar pajak kepada pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi perusahaan ini tidaklah main-main walau masih berbentuk CV, namun justru memiliki peran besar terhadap kehidupan sekitar. Bentuk perusahaan berupa Commanditaire Vennootschap (CV) masih dipertahankan karena CV. Karya Hidup Sentosa merupakan usaha keluarga yang telah dioperasikan secara turun temurun.

Dalam menjalankan operasinya, CV. Karya Hidup Sentosa menitikberatkan pada perilaku karyawan-karyawannya. Mulai dari cara berjalan hingga cara memandang sekitar, semua dikontrol oleh manajer. Beberapa pelatihan yang ada untuk membentuk karakter karyawan adalah Training Work Habit, Kiken Yoochi Training, dan lain-lain.

Training Work Habit merupakan training yang ditujukan untuk menyesuaikan perilaku perusahaan dengan kultur perusahaan. Contoh kecil adalah dalam berjalan seluruh anggota perusahaan diharapkan berjalan dengan posisi tegap. Hal ini dilakukan supaya karyawan merasa bahwa pada saat itu ia sedang bekerja.

Sementara itu, Kiken Yoochi Training adalah pelatihan yang diadaptasi dari Jepang. Pelatihan ini mengajarkan pada karyawan dalam menduga bahaya. Industri pabrik merupakan usaha yang rawan akan terjadinya kecelakaan kerja. Oleh karena itu, karyawan CV. Karya Hidup Sentosa dilatih untuk mengembangkan wawasan terhadap bahaya yang ada di sekelilingnya. Tak hanya itu, mereka juga dilatih untuk mencegah terjadinya kecelakan serta menyelesaikan apabila terjadi kecelakaan.

Beberapa pelatihan lain diterapkan setelah karyawan dinyatakan diterima di CV. Karya Hidup Sentosa. Misalnya training on the job, training personalia untuk membentuk mental dan disiplin kerja, training team work, dan lain-lain.  Semua dilakukan demi menjaga kualitas produk maupun lingkungan kerja perusahaan.

Alur produksi yang ada di pabrik CV. Karya Hidup Sentosa cukup efisien. Hal ini dapat dilihat dari layout dan alur produksi yang ada. Setiap departemen produksi dikelompokkan dalam satu gedung. Urutan penempatan gedung departemen pun dibuat secara runtut sehingga tidak memakan banyak waktu dalam mendistribusikan barang antardepartemen.

Tanda-tanda dan langkah-langkah yang harus dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya pun sudah tertulis dengan jelas dan mudah dimengerti. Segala sesuatunya sudah diatur dengan rinci, mulai dari alur kerja hingga penempatan barang-barang. Semua itu dilakukan agar mempermudah karyawan saat pergantian shift kerja. Karyawan shift pertama dengan karyawan shift kedua harus memiliki pengetahuan yang sama terhadapa cara dan alat-alat kerja sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan kemunduran produksi.

Rambu-rambu keselamatan dan semangat kerja banyak ditemukan di setiap sudut pabrik CV. Karya Hidup Sentosa. Pemasangan rambu-rambu tersebut pun ditempatkan pada sudut-sudut yang mudah dilihat. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa yang mudah dimengerti bagi seluruh karyawan. Dengan demikian, karyawan dapat lebih memahami bahaya kerja serta mawas diri terhadap lingkungan kerjanya.

Menempati lahan di tengah-tengah kota, CV. Karya Hidup Sentosa memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya. Pengelolaan limbah yang dihasilkan dari proses produksi dilakukan secara baik meski membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Truk-truk besar didatangkan untuk mengangkut limbah ke tempat pembuangan akhir.

Selain itu, CV. Karya Hidup Sentosa juga memerhatikan kehidupan sosial di masyarakat DIY. Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 2.500 pekerja dengan mayoritas dari mereka adalah seorang petani. CV. Karya Hidup Sentosa menaruh perhatian lebih pada para petani yang ada. Hal ini kemudian menjadi senjata bagi CV. Karya Hidup Sentosa untuk melakukan inovasi-inovasi produk. Pasalnya karyawan petani akan senantiasa menyampaikan kebutuhan mereka di sawah atau ladang. Dengan begitu inovasi yang dilakukan CV. Karya Hidup Sentosa dapat sesuai target, efisien, dan efektif.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa arti kerja dan pengelolaan organisasi bagi CV. Karya Hidup Sentosa adalah kerja dengan sikap atau perilaku yang baik. Kedisiplinan sangat dijunjung tinggi dalam bekerja. Oleh karena itu, berbagai pelatihan dan juga evaluasi antarpekerja, antarmanajer, bahkan antara pekerja dan manajer pun dilakukan. Ini menandakan bahwa CV. Karya Hidup Sentosa memfasilitasi karyawannya untuk berkembang dalam wawasan sehingga dapat menghasilkan suatu usulan atau gagasan bahkan keputusan. (Sofi Nabila)

 

Dikumpulkan sebagai tugas opini Mata Kuliah Manajemen, kelas Harsono (Dosen FEB UGM)

Posted: June 5th, 2015
Categories: Kunjungan Perusahaan
Tags:
Comments: No Comments.

Tujuh Bulan Menerka Rasa

Kagum

Aku bukan siapa-siapa

Oh hai
Padahal aku bukan siapa-siapa

Kenapa?
Aku kan bukan siapa-siapa

Hm
Aku ini bukan siapa-siapa

Kenapa?
Aku toh bukan siapa-siapa

Bukankah aku bukan siapa-siapa?

Ya, jelas aku bukan siapa-siapa

 

(Sofi Nabila)

Posted: June 5th, 2015
Categories: Puisi
Tags:
Comments: No Comments.

Pekerjaan Ini, Perempuan Ini

Udara malam masih terasa dingin selepas hujan lebat mengguyur tanah Bulaksumur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, ia dan seorang kawannya masih setia duduk di samping jendela yang terbuka. Mengulurkan tangan untuk meraih setiap buntalan kertas kuning yang disodorkan pengendara. Aspal yang tadinya dihiasi fatamorgana menjadi mengkilau oleh air yang menangkap temaram lampu kuning jalanan. Pantulan cahaya itu pun terlihat di kedua ujung sepatu boots hitam tuanya.

Namanya Tri Wulandari. Rekan kerja mengenalnya sebagai Tri. Ia adalah salah satu anggota Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus Universitas Gadjah Mada (SKKK UGM). Rambutnya yang hitam sedikit basah dipotong dengan model bob seleher. Berbalutkan atasan biru dan celana hitam khas seragam SKKK UGM, Tri melakukan tugas kesehariannya di bangunan kecil yang terletak di tengah-tengah Jalan Tevesia (sebelah Barat Masjid Kampus UGM).

Adalah SKKK UGM satuan yang memiliki tugas utama untuk menjaga keamanan dan ketertiban ‘kampus biru’. Mereka menerima komando langsung dari kantor pusat UGM. Salah satu komando yang diberikan adalah mengontrol akses keluar masuk kendaraan bermotor di wilayah kampus. “Selain jaga karcis ini ya kami juga memantau keadaan di sekitar pos penjagaan aja,” jelas Tri, “kalau saya cuma memantau sepanjang jalan ini.”

Terdapat kurang lebih delapan perempuan yang berprofesi sebagai SKKK UGM. Tri termasuk satu diantaranya. Di sisi lain, 16 laki-laki berprofesi sama. Mereka semua mendapatkan amanah dan hak yang serupa. “Yang spesial kalau hamil, kami diberi cuti tiga bulan.” cerita Tri. Ia pun mengaku bahwa SKKK UGM perempuan mendapat perlakuan khusus yaitu penempatan shift jaga, baik waktu maupun lokasinya. Mereka mendapatkan shift jaga mulai dari pukul 6 pagi hingga 2 siang. “Bisa juga kayak saya dari pukul 2 sampai pukul 10 malam. Ntar yang laki-laki lanjut sampai pukul 6 pagi lagi.” jelasnya. SKKK UGM perempuan pun biasa ditempatkan di lokasi yang relatif sejuk.

Tak dapat dipungkiri takdir wanita adalah menjadi seorang istri bagi suaminya sekaligus seorang ibu bagi anaknya. Hal ini pula yang sedang dijalani Tri. Banyak hal yang Tri korbankan, termasuk meninggalkan anak semata wayangnya hingga larut malam. Semua itu ia lakukan demi sebuah kepercayaan yang sudah diberikan kepadanya. “Sejak awal (suami) sudah memberi izin. Keluarga saya mengerti.” jawab Tri dengan suara mantap. Bagi Tri menjalani pekerjaan yang biasa orang katakan sebagai pekerjaan kaum adam ini semata-mata hanyalah untuk mencari rezeki. Upah yang ia dapat dari menjaga ‘kampus kerakyatan’ digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Bukan suatu hal yang mudah dan bukan pula suatu hal yang susah dalam menjalani pekerjaannya. Tri mengatakan ia belum pernah mengalami kejadian yang berat selama bertugas. Canda tawa bersama rekan seperjuangan membuat ia menikmati periode penugasannya. Hanya saja, ada satu hal yang membuat hati kecilnya resah tiap satu kejadian terjadi. “Saya merasa sedih setiap ada pengendara motor yang tak berhenti ngasih karcis. Seakan kami tidak dianggap ada.” tutur Tri apa adanya. Ia menghargai orang yang bersedia menepi dan mematuhi aturan dengan sekadar memberikan karcis kontrol. “Terima kasih” adalah kata yang selalu ia ucapkan untuk mereka.

Angin malam berhembus melalui jendela. Rambut yang tadinya basah oleh rintik hujan sudah mulai kering dibuatnya. Tatapan Tri lurus tajam kearah depan. Berkata pada dunia bahwa tak ada pekerjaan yang tidak pantas bagi perempuan. “Semua itu yang penting halal,” ucap Tri, “dan jangan pernah anggap remeh pekerjaan ini, perempuan ini.” (Sofi Nabila)

 

 

Dimuat dalam EQNews bulan April: Lika Liku Dosen FEB UGM

Posted: June 5th, 2015
Categories: EQNews
Tags:
Comments: No Comments.